Pagi ini sama dengan pagi yang lain. Entah datang dari
mana, padahal tanggalnya pun tidak sama, telah setahun lebih, ingatan mengenai
pagi itu muncul lagi. Tapi kali ini semuanya sangat sistematis dalam otak dan
jari-jari tangan saya pun tidak bisa berhenti menekan tombol keyboard untuk
melaporkan semuanya serinci ini, di tulisan ini. Pagi itu, dengan aroma pagi
yang sama, terjadi sebuah peristiwa yang telah jadi titik balik terpenting
dalam hidup saya sejauh ini, peristiwa yang rekamannya akan terus berputar
pelan dalam kepala saya hingga entah kapan, yang adegan demi adegannya akan
terus dapat saya ceritakan dengan jelas. Apeknya pagi yang selalu hectic karena rutinitas harian kami saat
itu, ternyata adalah aroma terakhir untuk kami kala itu. Seorang sahabat pernah
berkata bahwa setiap manusia adalah wayang. Dan sebuah kalimat, kadang bisa
sangat melekat di hati kita dengan baik, hingga bahkan dapat dijadikan pegangan
saat terpeleset dan jatuh, maupun saat terangkat tinggi dan terbang. Tapi lebih
sering, pegangan dan pemakluman atas kepengecutan, sangat tipis bedanya.
Saya telah mengalami empat tahun pernikahan yang tidak
mudah. Klise memang. Pernikahan mana ada yang mudah. Lalu kata apa yang tepat?
Mungkin, yang kami alami, lebih tepatnya, berbeda. Sejak awal, bukan, mungkin
bahkan sebelum mengawali pun, kami telah melakukan kesalahan. Yaitu tentang apa
itu pernikahan, saat itu kami sama-sama belum mengerti sedikitpun. Kami
hanyalah anak-anak yang lahir dan dibesarkan oleh sistem-sistem budaya dan
kebiasaan awam, yang lebih banyak melupakan hakikat. Kami dikenalkan oleh
seorang kawan, yang sepertinya belum terlalu mengenal kami berdua dengan baik,
tapi mengerti kepentingan dan kebutuhan mendesak kami akan pernikahan, dan stereotype masyarakat mengenai usia
ideal. Semuanya berjalan sangat singkat dan terlewat mudah, hanya terhitung
kurang dari enam bulan, kami resmi menjadi suami istri. Apakah saya seputus asa
itu hingga jadi se’murah’ itu? Sebenarnya tidak terlalu, jika saya masih boleh
membela diri. Karena beberapa pertimbangan pun sempat saya buat, tapi berhenti
pada hal-hal mendasar saja, seperti bibit
bebet bobot yang selalu dijadikan jembatan keledai orang Jawa untuk
memudahkan kerumitan proses menilai dan ‘membaca’ orang lain. Sekalipun, dalam
jangka waktu kurang dari enam bulan, yang sudah disibukkan dengan segala urusan
persiapan upacara dan pesta pernikahan, tidak cukup banyak informasi yang bisa
didapat mengenai bibit bobot bebet tersebut. Yang bisa dilakukan akhirnya hanyalah memaklumi
segala kekurangan, yang sebenarnya telah sangat terlihat tapi terabaikan sejak
awal. Saat itu, saya terlalu pengecut dan takut, merasa aman dari serangan
apapun dengan adanya sebuah pernikahan, merasa telah membuktikan bahwa kami
berdua adalah bagian dari masyarakat, yang seperti pada umumnya, berumahtangga
di usia yang ideal. Segala kecacatan yang ada sejak sebelum menikah maupun di awal-awal
tahun pernikahan, saya anggap sebagai hal yang lumrah. Perbedaan pendapat dan
segalanya, semua dialami pasangan menikah manapun, pikir saya, hanya saja
mungkin mereka semua bisa melewati dengan baik. Itu yang selalu jadi pedoman
saya. Dan saya sempat melupakan satu hal penting di awal.
Chemistry
atau
ikatan antara kami berdua terasa sangat janggal sejak awal. Saya tidak akan
menggunakan kata ‘cinta’ untuk menyederhanakannya, karena menurut saya kata
‘cinta’ itu sendiri justru sangat tidak sederhana. Ya, kami selalu kesulitan
membangun rasa seperti layaknya suami
istri pada umumnya, yang kita lihat dari bagaimana orang lain sepertinya
menikmatinya, atau bagaimana orang tua kami mencontohkannya, atau bagaimana
saya membandingkan dengan yang saya alami ketika dulu menjalin hubungan dengan
laki-laki sebelumnya, ketika kala itu saya masih tahu bagaimana merindukan, ingin
selalu dekat, memperhatikan segala detail kepentingan hidupnya, memaklumi
kesalahannya, dan menyukai segala yang ada padanya. Lalu segala rindu,
perhatian, pemakluman, dan rasa suka saya terhadap suami saat itu adalah berupa
upaya yang sungguh-sungguh dan lebih sering gagal, bukannya mengalir dan
menyenangkan. Dan satu-satunya yang menyebabkan sesulit itu menciptakan sesuatu
yang seharusnya sederhana, adalah karena saya sendiri pun tidak pernah menerima
sikap yang menggambarkan rasa itu darinya. Sejak awal. Bahkan di malam pertama
yang seharusnya sakral itu, kami sudah harus dihadapkan pada keributan absurd
tapi mungkin bisa disebut kode keras dari semesta. Entah bagaimana
menggambarkan kehampaan itu dengan persis. Tapi bukan lalu kami tidak berusaha.
Tentu saya tidak harus menyebutkan dan menghitung satu per satu langkah saya
sendiri. Tapi dia pun sebenarnya juga pernah seringkali terlihat berupaya
menciptakan quality time bersama
saya, atau menunjukkan kesungguhannya untuk bertanggungjawab sebagai suami.
Maka di saat-saat seperti itu saya sempat menyalahkan diri sendiri dan sangat
kecewa, karena semua hal indah tentang mencintai itu, kenapa tidak bisa saya rasakan
untuknya? Berbagai spekulasi muncul, misalnya seperti, apakah ini hukuman dari
Tuhan karena dulu saya pacaran, karena dulu saya terlalu lama menghabiskan
waktu untuk mencintai laki-laki yang belum sah menjadi suami, dan macam-macam
lamunan yang lain.
Lalu bagaimana akhirnya kami bercerai, apakah hanya
karena kehambaran hubungan itu saja? Tentu tidak. Saya orang Jawa, seorang
muslimah, dan masih memegang teguh nilai-nilai ‘kolot’ yang baik untuk
dipertahankan. Karena jika saya membiarkan pola pikir liberal yang memegang
kendali, mungkin gugatan cerai itu sudah sejak lama saya lakukan. Saya masih
terus berusaha mencari cara untuk mencintai suami dengan harapan naif bahwa
jika saya sudah dapat mencintainya dengan baik, diapun akan dapat melakukan hal
yang sama sebagaimana mestinya. Jadi seharusnya, kondisi itu lambat laun akan
membaik dan berhasil asal saya terus berusaha. Jadi bertahun-tahun, saya sangat
ingin mencintai suami saya sendiri, sangat ingin. Ingin merindukannya, mengagumi
apapun yang ia miliki, berterimakasih atas segala yang ia lakukan, tapi pada
akhirnya tetap tidak bisa. Yang terlihat hanyalah kekurangannya, kesalahannya,
keganjilan perilakunya, dan itu selalu menyakitkan. Selain karena chemistry aneh diantara kami sejak awal,
juga karena tepatnya di awal tahun kedua pernikahan, muncul sebuah kondisi yang
selama ini hanya saya tahu ada di sinetron pagi dan tidak pernah terbayang akan
saya alami dalam rumah tangga saya, ternyata pada akhirnya hal itu yang dikirim
Tuhan untuk mengakhirkan kami. Kehadiran perempuan itu.
Perempuan yang bahkan ketika suatu hari saya melihat
petugas bank mengenakan name tag
dengan nama yang sama, atau bahkan siswa saya di sekolah memiliki nama yang
sama dengan perempuan itu, seluruh aktivitas hari itu akan kacau ditambah mimpi
buruk di malam harinya. Awalnya ia hanya debu halus yang sepertinya bisa
dihalau dengan mudah, namun kelamaan ia menjadi kerikil, batu kecil, hingga
bongkahan besar yang menutup akses saya dan suami menuju hubungan yang lebih baik.
Lambat laun, semuanya kian memburuk. Pertengkaran demi pertengkaran semuanya
bersumber dari kehadiran perempuan itu. Saya tahu saya tidak atau belum
mencintai suami saya dengan baik, tapi ini adalah kebutuhan dasar manusia, yang
tidak ingin untuk posisinya digantikan secara paksa, atau apa yang menjadi
haknya dirampas oleh siapapun yang jelas tidak berhak. Kata orang, ada cemburu
jika ada cinta, itu artinya saya mungkin tidak cemburu, tapi saya hanya tidak
membiarkan segala perhatian suami, waktunya, tenaga, pikiran, bahkan materi,
yang itu semua adalah hak saya untuk meminta, hanya saya, kini ia bagi untuk
yang lain, bahkan lama-lama, tidak bersisa sedikitpun untuk saya. Hari-hari,
dimanapun dan tengah melakukan apapun, setengah dari otak saya selalu memikirkan
apa yang sedang dilakukan perempuan itu dan suami. Seluruh hidup saya, sel-sel
tubuh saya, selama beberapa tahun itu, dikuasai oleh rasa benci, marah, dan
tidak berdaya. Hingga kekuatan tambahan yaitu sebuah konsep tentang ‘wayang’
yang selalu jadi tali pegangan di tepi jurang itu pun, saat itu tidak pernah
lagi saya gunakan. Saya menghalau seluruh masukan apapun yang bersifat positif.
Sedikitpun, saya pikir, tidak ada sisi positif atau pembenaran akan
ketidakadilan yang saya alami saat itu. Kondisi rumah kami memburuk tiap
harinya. Keluarga, orang tua, banyak hati ikut tersakiti.
Satu-satunya hal yang dapat menyatukan kami di meja
makan adalah ketika ada pembicaraan mengenai keingingan kami untuk memiliki
anak. Walaupun kami sama-sama tahu, hal itu bukan yang paling penting. Entah
Tuhan memberi kami anak atau tidak, tapi hanya dengan ini kami dapat memiliki
satu-satunya hal yang dapat diperjuangkan bersama. Jadi ketika pada akhirnya
kami gagal dan gagal lagi hingga rahim saya harus diekspos sedemikian rupa dan
mengalami berbagai rasa sakit dan beberapa kecacatan permanen, kekecewaan saya
tidak begitu besar ternyata. Karena saya belajar bahwa dikhianati, dibohongi,
dan serangan-serangan mental semacam itu yang saya alami selama ini, setiap
hari, tidak ada jalan keluarnya, dan tidak berdaya, ternyata jauh lebih sakit
melebihi apapun yang dapat menyayat kulit dan daging saya. Seseorang yang tidak
dikenal pernah secara tidak sengaja bertemu di lobi tempat kerja saya dan
ketika kami tengah berbicara basa-basi sekenanya, ia menyisipkan sebuah kalimat
yang kala itu lagi-lagi menjadi pegangan saya dalam rangka ikhtiar menjalani
program kehamilan itu, bahwa anak adalah buah cinta. Ketika sesuatu itu tidak
tumbuh subur, maka jangankan berbuah, ia tetap hidup dan tidak mati saja sudah
bagus. Dan untuk selanjutnya, yang tersisa dari saya dan suami, hanyalah dua
orang yang tinggal di satu rumah karena ‘terlanjur’ menikah, terpaksa menjalani
segala konsekwensi sosial yang menyertainya, sambil terus bertahan hidup
ditengah serangan parasit yang menggerogoti tubuh hingga akar kami.
Hingga Tuhan menyudahi semua itu. Tanggal 1 Februari
setahun yang lalu, di pagi subuh, jawaban itu datang melalui berbagai rasa
nyeri di sekujur tubuh saya yang diperlakukan seperti binatang yang hendak
melarikan diri sebelum disembelih. Oleh suami saya sendiri. Jika ditanya apa
penyebabnya, secara kronologis seperti yang saya jawab dalam berita acara
pidana di kantor polisi saat itu, semuanya diawali dari pertengkaran seperti
biasanya. Lalu saling menyalahkan, mencari kambing hitam, pemutarbalikan fakta,
mengungkit-ungkit peristiwa yang lalu, dan berbagai nada standar yang selalu
kami teriakkan ketika bertengkar. Lalu apa yang membuatnya berbeda dengan
hari-hari bertengkar sebelumnya, adalah bahwa saat itu ialah yang terakhir. Ia
kalap, menggila, menyerang, seakan hilang sadar, saya tidak berdaya, bahkan
beberapa potongan adegan seperti terhapus dari memori karena terlalu asing untuk
hidup saya yang serba naif ini. Pagi itu, 1 Februari, adalah pagi terakhir
kami. Karena dalam catatan di pengadilan agama, peristiwa itulah yang mendasari
hakim memutuskan perceraian itu, hanya dengan dua kali sidang, dalam jangka
waktu kurang dari dua bulan, tanpa mediasi.
Saat ini, segala rasa sakit yang mungkin dapat
dirasakan oleh tubuh saya memang telah hilang sama sekali. Dan sesepele apapun
beberapa pihak menganggap saya membesar-besarkan perkara pukulan demi pukulan
yang mungkin tidak sampai mematahkan tulang atau menyebabkan kecacatan fisik
apapun, pada akhirnya juga memang hanya saya yang dapat merasakan seberapa
membekas semua itu ketika rasa sakit dan serangan itu diberikan justru oleh
orang yang saat itu menjadi yang paling diharapkan dapat melindungi dari segala
macam ancaman dunia. Lalu jika ditanya
trauma seperti apa yang dapat saya ceritakan, ternyata bukan mengenai
berapa kali ia memukul wajah saya, berapa lama ia mencekik, berapa keras ia
menendang, menjambak, melempar tubuh saya, dan terminologi negatif lainnya
untuk tindakan pidana semacam itu, atau seberapa banyak lebam yang dapat
dihitung oleh visum rumah sakit kala itu, atau seberapa dalam jahitan di
robekan bibir saya, tapi ternyata yang membekas adalah tentang seberapa jauh ia
berpaling dari segala ketulusan yang telah semaksimal mungkin bisa saya berikan
selama empat tahun dan membiarkan hati serta hidupnya bertahan dengan hal itu
tanpa ada sedikitpun keinginan untuk merubahnya dan justru terlihat makin
menikmatinya, ditambah dengan pemutarbalikkan fakta berupa fitnah yang ia
alamatkan ke saya sebagai mekanismenya mempertahankan diri dari serangan semua
orang yang menyalahkan kebrutalannya. Lalu hal-hal semacam; menyadari bahwa
bekal makan siang yang saya siapkan untuknya, ia nikmati ketika sedang makan
siang berdua dengan perempuan lain; menunggu ia pulang ke rumah hingga tengah
malam karena ia berkencan dengan perempun lain; mendapati berbagai macam pesan
singkat berisi kalimat mesra dari perempuan lain; menemukan koleksi foto vulgar
perempuan itu; dan selalu hanya mendapat sisa perhatian darinya yang
memprioritaskan perempuan lain di atas segala kepentingannya, semua itu ternyata
jauh lebih traumatis dibandingkan segala memar, darah, dan luka fisik apapun.
Dan baiklah, saya sudah sampai pada babak akhir atau
bahkan epilog dari kisah itu. Satu tahun berlalu dan seperti ungkapan banyak
orang yang sejauh ini tidak pernah saya pahami artinya, bahwa ada kalanya
manusia akan merasa bagaikan terlahir
kembali. Segala awal apapun yang sudah disiapkan takdir berikutnya, sepertinya
saya siap. Siap dalam arti sesungguhnya, bukan menghibur diri dan sok tangguh. Karena
tulisan inilah manifestasi dari segala usaha saya selama ini untuk membersihkan
diri dari kesemrawutan yang memenuhi hidup saya selama beberapa tahun ini. Maka
tulisan ini sama sekali bukan sebuah selebrasi setahun perceraian yang nantinya
akan selalu saya rayakan layaknya hari jadian para ABG. Bukan juga pengumuman
resmi ke publik tentang status saya yang ditujukan untuk rekan-rekan atau
saudara jauh yang masih sering menanyakan “Suamimu kok nggak diajak?”. Bukan pula
sebuah kampanye anti woman abuse atau
say no to selingkuh agar saya
terlihat sok aktif terhadap gerakan feminisme. Apalagi sama sekali bukan
semacam balas dendam agar seluruh dunia membela saya dan menyerang mantan suami
lalu menjaring masa untuk melakukan bullying
ke perempuan itu layaknya fenomena anti-pelakor yang tengah happening di media sosial saat ini. Apa yang
akan saya dapat, apakah agar merasa menjadi juara atas pertandingan ini? Sama sekali
bukan. Setelah saya mempublikasikan
tulisan ini, entah sampai ke publik atau tidak, saya akan merasa bahwa saya
telah berusaha berdamai dengan segala rasa benci dan dendam, beserta
orang-orang yang menyertainya. Aneh dan bersyukur karena tahu bahwa jelas ini
adalah campur tangan Sang Maha membolak-balikkan hati, yang ingin menegaskan
bahwa saya dan laki-laki itu kini tidak lebih dari dua orang yang wajib menjaga
hubungan baik, tanpa boleh menggerutu mengenai masa lalu yang telah digariskan,
apalagi berani-beraninya masih memendam sakit hati atau masih saling
menyalahkan. Walaupun bayangan-bayangan itu masih sering terlintas, tapi tak
apa, karena itulah yang masih membuat saya menjadi manusia. Dan tidak ada
manusia yang pantas hanya dikenal karena keburukannya semata, begitu juga
sebaliknya. Dunia terlalu berwarna jika hanya untuk dikenal sebagai hitam dan putih,
bagus dan buruk, penjahat dan pahlawan super. Banyak pembiasan yang membuat
sudut pandang setiap kita berbeda terhadap satu obyek yang sama. Yang bisa
dilakukan hanyalah berusaha sekeras-kerasnya untuk hidup sebaik-baiknya. Satu lagi
yang saya syukuri adalah bahwa saya dilahirkan di era progresif ini, dimana
wejangan dan sistem hidup konservatif masih menjadi darah daging, tapi pola
pikir dan referensi global tidak bisa dibatasi lagi. Maka jika pada akhirnya nanti
saya dan mantan suami dapat melanjutkan hidup dengan idealisme dan kedamaian
hati tersebut, pada saat itu kami dapat berbesar hati karena telah mencapai level
kedewasaan yang cukup dapat dibanggakan di hadapan Sang Pencipta dan
makhluknya.